Penjara
Yang Kubuat
Oleh
Wening Prastiwi
Wajah
teman-temanku terlihat begitu gembira setelah liburan akhir semester berakhir.
Hari ini hari dimana pertama kalinya masuk sebagai semester awalku. Apa
salahnya aku menanyai dimana mereka pergi berlibur. Tidak salah lagi mereka
menjawabnya dengan wajah yang sumringah sambil menyebutkan beberapa tempat
wisata yang telah mereka kunjungi.
Saat
aku mulai ditanya “dimana kamu pergi berlibur dan coba ceritakanlah?.” Dan saat
aku dituntut untuk menceritakan liburanku oleh guru sastra dengan berbagai
bahasa. Tanganku mulai membeku dingin, kakiku terasa gemetar, nafasku
terengah-engah, jantungku berdetak kencang, dan pikiranku mulai kebingungan.
Bangaimana aku dapat menjawabnya itu merupakan pertanyaan yang aku sendiri
tidak tahu jawabannya dan tantangan yang tidak dapat kuungkapkan dalam cerita
fiksi maupun realita. Saat itu aku hanya bisa menjawabnya ditempat biasa-biasa
saja. Aku mengakui itu cerita yang sedikit bohong . Aku tidak pergi
kemana-mana, hanya menunggu detikan jam dinding di rumah dengan disibukkan
berbagai kegiatan.
Maafkan
aku ibu, aku untuk kali ini tidak bisa menepati janjiku yang dulu aku buat
denganmu. Aku duduk di dalam ruangan yang sesak oleh makhluk-makhluk yang
suaranya amatlah membisingkan telinga. Itu saat-saat yang paling mengasyikkan
yang bagi teman-temanku. Mereka bisa tertawa lepas didepan teman-teman lainnya.
Tapi disitu aku merasakan kesepian. Bukankah itu lucu. Aku duduk diantara keramaian
tapi aku tidak dapat merasakan keramaian tersebut. Sambil duduk aku menuliskan
semua kisah tentang hidupku dibuku diary
pink kecilku yang kusebut dengan sebutan my time machine. Disitulah aku menuangkan semua kisah hidupku yang
kualami mulai dari kehidupan kecilku sampai saat ini. My time machine itu sahabat selain sahabatku yang sangat manjur
untuk mengobati ingatan yang mulai terlupakan.
Saat
kubaca lembaran pertama yang paling usang diantara lembaran-lembaran lain aku
merasakan kangen yang paling mendalam, kala itu hatiku senangnya tak terkira
bisa menikmati indahnya pantai Depok bersama sahabatku termasuk indahnya ombak
yang tengah menggulung samudra, binatang yang biasa kita sebut dengan sebutan
jingking yang merangkak diatas pasir pantai dengan mondar-mandir tanpa arah
yang pasti maupun kapal nelayan yang terapung diatas air yang tidak stabil.
Dulu
aku sangatlah periang tetapi aku lelah melakukannnya, aku tidak tahu apa karena
teman-temanku yang menjauh atau aku yang kurang dalam pergaulan. Entahlah aku
juga tidak begitu mengetahuinya. Saat itu dimulai sejak aku menginjak sekolah
menengah pertama.
Aku
ingat janji yang telah kubuat bersama ibuku. Aku dan ibuku membuat janji apapun
yang tejadi harus tetap bahagia walaupun dihati kecilku terselimuti kesedihan
yang mendalam. Ibu sekali lagi maafkanlah aku, aku telah melanggar janjiku
walaupun aku sudah berusaha untuk menepatinya.
Pelajaranpun
telah selesai itulah yang selama ini aku lakukan, pergi ke sekolah lalu pulang
ke rumah, saat dihari Minggu pun tetaplah di rumah dan sekarang tak pernah
melakukan perjalanan wisata.
Aku
berjalan menuju gerbang sekolah melewati kerumunan orang-orang yang lalu-lalang
ke berbagai arah. Ada yang sibuk mencari sepeda motor, maupun sepeda di tempat
parkir.
Ku
tunggu beberapa menit tetapi orang tuaku tak kunjung juga datang menjemputku.
Sampai akhirnya aku dihampiri oleh seorang kakak kelas. Wajahnya terlihat
familiar buat ku serasa pernah bertemu dalam hidup ini, ia terlihat seperti
seseorang yang bukan kewarganegaraan Indonesia. Pertama ia hanya menungguku
dari belakang. Kemudian saat aku menengok ke arahnya tepatnya dibelakangku ia
bertingkah aneh, seperti sok sibuk dengan smartphonenya
padahal aku jelas-jelas melihat smartphone
tersebut terbalik. Aku tersenyum dengan sedikit meledek. Tapi apa yang terjadi
kakak kelas itu malah membalas senyumku dengan seyuman manis sambil membalikkan
smartphone yang tadinya terbalik.
“Maaf
dik, belum dijemput ya?” tanya kakak itu.
“Belum
kak” jawabku.
“Ayo
pulang sama kakak ini sudah larut lho,” tawarannya tanpa memikirkan hal
panjang.
Aku
kebingungan harus menerima ataukah menolaknya. Aku memang gadis polos tetapi
aku tak bisa menerimanya begitu saja.
“Maaf
kak orang tuaku sedang dalam perjalanan,” aku memberinya alasan agar kakak tadi
meninggalkanku.
“Ya
sudah kutemani sampai orang tuamu dapat menjemput,” dengan nada lembut sambil
turun dari motor merahnya.
“Tidak
usah kak, itu sangatlah merepotkan,” lagi-lagi aku menolaknya.
“Tidak
apa sama sekali tidak merepotkan, oh iya kita belum berkenalan, sebutkan nama
dan alamat!” ajakan berkenalan itu kurasa ini pertemuan pertamaku dengannya.
“Oh…..
namaku Vasha aku tinggal didaerah seberang jalan raya tidak jauh dari perematan
yang besar itu,” gugupnya aku dalam menjawab. Itu bukanlah jawaban yang jujur.
Aku tidak tinggal disana hanya untuk memberi jawaban saja.
Smartphone
dari saku rokku bordering kemudian aku mengangkatnya. Ternyata orang tuaku
tidak bisa menjemputku karena ia sedang menghadiri pertemuan penting diluar
kota.
“Oh
iya nama kakak?” tanyaku kepadanya.
“Wah
hampir lupa, namaku Egri, ya sudah aku duluan jika memang tidak mau ku temani,”
berakhirlah perkenalan pertama ini.
****
Pagi
ini aku berangkat sekolah Nampak siswa-siswi bersemangat untuk menjadi supporter
kejuaraan DBL. DBL ini menjadi kewajiban untuk diikuti oleh sekolahku. Saat ini
para supporter duduk dibangku tepi lapangan. Mereka menyorakkan yel-yel
masing-masing sekolahnya. Tak mau kalah dari sekolah lain sekolahku juga
melakukannya. Tapi disini aku hanya diam tidak menikmati sorakan teman-temanku
maupun pertandingannya.
Bolapun
terus menerus dishoot ke dalam ring,
didrible dan lain sebagainya. Saat
temanku begitu semangatnya meneriakkan yel-yel sampai merobohi tubuhku dan smartphone yang aku pegang jatuh di tepi
lapangan. Aku pun berlari untuk mengambilnya. Tanpa memperdulikan bola basket
yang akhirnya mendarat diatas kepalaku.
Tak
disangka gara-gara itu suasana yang tadinya gaduh menjadi sunyi senyap, semua
mata tertuju padaku. Aku malu sampai tak tertahankan. Kepalaku terasa sangat
pusing dan ternyata pandanganku berubah jadi gelap.
Selang
beberapa menit aku membuka mataku. Ternyata tubuhku sudah dibaringkan diranjang
ruang kesehatan. Kucari smartphoneku
tapi tak juga kutemukan. Mungkin masih tergeletak di lapangan tadi.
“Hai
kamu tidak apa-apa? maaf aku yang melambungkan bolanya tadi, sungguh aku minta
maaf membuatmu terluka,” pintanya begitu tulus.
“Kak
Egri….. iya tak apa ini sudah membaik,” jawabku dengan nada melemah.
“Syukurlah
kalau begitu.”
“Oh
iya ini smartphonemu, tapi maaf telah
lancang membuka kuncinya.”
“Iya
tidak apa.”
“Kalau
boleh tahu yang ada diwallpaper smartphonemu itu siapa, tampak seperti
dua anak kecil.”
“Itu
fotoku bersama teman kecilku, aku kehilangannya saat aku menginjak sekolah
menengah pertama, ia pernah mengalami kecelakaan gara-gara aku. Mulai dari
situlah orang tuanya tak mengijinkan aku berteman dengannya dan pada akhirnya
ia dibawa ke luar negeri.”
Egri
mulai mengerti dengan ceritanya. Ia meneteskan air mata begitu mendengar
ceritaku.
“Vasha
aku akan mengakuinya sekarang padamu, sebenarnya akulah yang ada difoto itu,
itu diambil saat kita masih duduk dikelas enam sekolah dasar,” pengakuannya
begitu menyentuh hati.
Ku
gigit kedua bibirku sampai aku meneteskan air mata begitu mendengarkan
pengakuan Egri. Dengan nada tersendat-sendat aku menanyainya. “Bagaimana bisa
kamu kembali kesini, lalu bagaimana bisa menjadi kakak kelasku.”
“Aku
kesini karena pekerjaan ayah yang mengharuskanku ke Indonesia, lalu aku bisa
jadi kakak kelasmu mungkin karena kau tidak naik kelas!”
Egri
masih sama sifatnya seperti dulu. Ia sering bertindak sebagai pelawak dalam
hidupku. Egri sebenarnya mengikuti sekolah menengah pertama di luar negeri
hanya dengan dua tahun. Tiba-tiba Egri memelukku.
“Maaf
karena kecelakaan yang aku alami dulu telah membuatmu menjadi Rapunzel yang
selalu menyalahkan diri hingga kau membuat penjara yang tertancap besi
ketakutanmu untuk berteman dengan orang lain. Terima kasih kau masih menungguku
selama ini.”
“Aku
bukanlah seorang Rapunzel melainkan seorang penyihir yang mengurung diriku
sendiri. Maaf karenaku tak langsung mengenalimu. Terima kasih karena kau telah
menghampiriku. Dan terima kasih karena kau datang membukakan penjara ini.”
Egri
melepaskan pelukan dan menghapus air mataku dengan kedua ibi jarinya kemudian
memelukku kembali.
Nama : Wening Prastiwi
Kelas : X Ak 1
No : 32