Sabtu, 16 September 2017

cerpen

Penjara Yang Kubuat
Oleh Wening Prastiwi

Wajah teman-temanku terlihat begitu gembira setelah liburan akhir semester berakhir. Hari ini hari dimana pertama kalinya masuk sebagai semester awalku. Apa salahnya aku menanyai dimana mereka pergi berlibur. Tidak salah lagi mereka menjawabnya dengan wajah yang sumringah sambil menyebutkan beberapa tempat wisata yang telah mereka kunjungi.
Saat aku mulai ditanya “dimana kamu pergi berlibur dan coba ceritakanlah?.” Dan saat aku dituntut untuk menceritakan liburanku oleh guru sastra dengan berbagai bahasa. Tanganku mulai membeku dingin, kakiku terasa gemetar, nafasku terengah-engah, jantungku berdetak kencang, dan pikiranku mulai kebingungan. Bangaimana aku dapat menjawabnya itu merupakan pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu jawabannya dan tantangan yang tidak dapat kuungkapkan dalam cerita fiksi maupun realita. Saat itu aku hanya bisa menjawabnya ditempat biasa-biasa saja. Aku mengakui itu cerita yang sedikit bohong . Aku tidak pergi kemana-mana, hanya menunggu detikan jam dinding di rumah dengan disibukkan berbagai kegiatan.
Maafkan aku ibu, aku untuk kali ini tidak bisa menepati janjiku yang dulu aku buat denganmu. Aku duduk di dalam ruangan yang sesak oleh makhluk-makhluk yang suaranya amatlah membisingkan telinga. Itu saat-saat yang paling mengasyikkan yang bagi teman-temanku. Mereka bisa tertawa lepas didepan teman-teman lainnya. Tapi disitu aku merasakan kesepian. Bukankah itu lucu. Aku duduk diantara keramaian tapi aku tidak dapat merasakan keramaian tersebut. Sambil duduk aku menuliskan semua kisah tentang hidupku dibuku diary pink kecilku yang kusebut dengan sebutan my time machine. Disitulah aku menuangkan semua kisah hidupku yang kualami mulai dari kehidupan kecilku sampai saat ini. My time machine itu sahabat selain sahabatku yang sangat manjur untuk mengobati ingatan yang mulai terlupakan.
Saat kubaca lembaran pertama yang paling usang diantara lembaran-lembaran lain aku merasakan kangen yang paling mendalam, kala itu hatiku senangnya tak terkira bisa menikmati indahnya pantai Depok bersama sahabatku termasuk indahnya ombak yang tengah menggulung samudra, binatang yang biasa kita sebut dengan sebutan jingking yang merangkak diatas pasir pantai dengan mondar-mandir tanpa arah yang pasti maupun kapal nelayan yang terapung diatas air yang tidak stabil.
Dulu aku sangatlah periang tetapi aku lelah melakukannnya, aku tidak tahu apa karena teman-temanku yang menjauh atau aku yang kurang dalam pergaulan. Entahlah aku juga tidak begitu mengetahuinya. Saat itu dimulai sejak aku menginjak sekolah menengah pertama.
Aku ingat janji yang telah kubuat bersama ibuku. Aku dan ibuku membuat janji apapun yang tejadi harus tetap bahagia walaupun dihati kecilku terselimuti kesedihan yang mendalam. Ibu sekali lagi maafkanlah aku, aku telah melanggar janjiku walaupun aku sudah berusaha untuk menepatinya.
Pelajaranpun telah selesai itulah yang selama ini aku lakukan, pergi ke sekolah lalu pulang ke rumah, saat dihari Minggu pun tetaplah di rumah dan sekarang tak pernah melakukan perjalanan wisata.
Aku berjalan menuju gerbang sekolah melewati kerumunan orang-orang yang lalu-lalang ke berbagai arah. Ada yang sibuk mencari sepeda motor, maupun sepeda di tempat parkir.
Ku tunggu beberapa menit tetapi orang tuaku tak kunjung juga datang menjemputku. Sampai akhirnya aku dihampiri oleh seorang kakak kelas. Wajahnya terlihat familiar buat ku serasa pernah bertemu dalam hidup ini, ia terlihat seperti seseorang yang bukan kewarganegaraan Indonesia. Pertama ia hanya menungguku dari belakang. Kemudian saat aku menengok ke arahnya tepatnya dibelakangku ia bertingkah aneh, seperti sok sibuk dengan smartphonenya padahal aku jelas-jelas melihat smartphone tersebut terbalik. Aku tersenyum dengan sedikit meledek. Tapi apa yang terjadi kakak kelas itu malah membalas senyumku dengan seyuman manis sambil membalikkan smartphone yang tadinya terbalik.
“Maaf dik, belum dijemput ya?” tanya kakak itu.
“Belum kak” jawabku.
“Ayo pulang sama kakak ini sudah larut lho,” tawarannya tanpa memikirkan hal panjang.
Aku kebingungan harus menerima ataukah menolaknya. Aku memang gadis polos tetapi aku tak bisa menerimanya begitu saja.
“Maaf kak orang tuaku sedang dalam perjalanan,” aku memberinya alasan agar kakak tadi meninggalkanku.
“Ya sudah kutemani sampai orang tuamu dapat menjemput,” dengan nada lembut sambil turun dari motor merahnya.
“Tidak usah kak, itu sangatlah merepotkan,” lagi-lagi aku menolaknya.
“Tidak apa sama sekali tidak merepotkan, oh iya kita belum berkenalan, sebutkan nama dan alamat!” ajakan berkenalan itu kurasa ini pertemuan pertamaku dengannya.
“Oh….. namaku Vasha aku tinggal didaerah seberang jalan raya tidak jauh dari perematan yang besar itu,” gugupnya aku dalam menjawab. Itu bukanlah jawaban yang jujur. Aku tidak tinggal disana hanya untuk memberi jawaban saja.
Smartphone dari saku rokku bordering kemudian aku mengangkatnya. Ternyata orang tuaku tidak bisa menjemputku karena ia sedang menghadiri pertemuan penting diluar kota.
“Oh iya nama kakak?” tanyaku kepadanya.
“Wah hampir lupa, namaku Egri, ya sudah aku duluan jika memang tidak mau ku temani,” berakhirlah perkenalan pertama ini.
****
Pagi ini aku berangkat sekolah Nampak siswa-siswi bersemangat untuk menjadi supporter kejuaraan DBL. DBL ini menjadi kewajiban untuk diikuti oleh sekolahku. Saat ini para supporter duduk dibangku tepi lapangan. Mereka menyorakkan yel-yel masing-masing sekolahnya. Tak mau kalah dari sekolah lain sekolahku juga melakukannya. Tapi disini aku hanya diam tidak menikmati sorakan teman-temanku maupun pertandingannya.
Bolapun terus menerus dishoot ke dalam ring, didrible dan lain sebagainya. Saat temanku begitu semangatnya meneriakkan yel-yel sampai merobohi tubuhku dan smartphone yang aku pegang jatuh di tepi lapangan. Aku pun berlari untuk mengambilnya. Tanpa memperdulikan bola basket yang akhirnya mendarat diatas kepalaku.
Tak disangka gara-gara itu suasana yang tadinya gaduh menjadi sunyi senyap, semua mata tertuju padaku. Aku malu sampai tak tertahankan. Kepalaku terasa sangat pusing dan ternyata pandanganku berubah jadi gelap.
Selang beberapa menit aku membuka mataku. Ternyata tubuhku sudah dibaringkan diranjang ruang kesehatan. Kucari smartphoneku tapi tak juga kutemukan. Mungkin masih tergeletak di lapangan tadi.
“Hai kamu tidak apa-apa? maaf aku yang melambungkan bolanya tadi, sungguh aku minta maaf membuatmu terluka,” pintanya begitu tulus.
“Kak Egri….. iya tak apa ini sudah membaik,” jawabku dengan nada melemah.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Oh iya ini smartphonemu, tapi maaf telah lancang membuka kuncinya.”
“Iya tidak apa.”
“Kalau boleh tahu yang ada diwallpaper smartphonemu itu siapa, tampak seperti dua anak kecil.”
“Itu fotoku bersama teman kecilku, aku kehilangannya saat aku menginjak sekolah menengah pertama, ia pernah mengalami kecelakaan gara-gara aku. Mulai dari situlah orang tuanya tak mengijinkan aku berteman dengannya dan pada akhirnya ia dibawa ke luar negeri.”
Egri mulai mengerti dengan ceritanya. Ia meneteskan air mata begitu mendengar ceritaku.
“Vasha aku akan mengakuinya sekarang padamu, sebenarnya akulah yang ada difoto itu, itu diambil saat kita masih duduk dikelas enam sekolah dasar,” pengakuannya begitu menyentuh hati.
Ku gigit kedua bibirku sampai aku meneteskan air mata begitu mendengarkan pengakuan Egri. Dengan nada tersendat-sendat aku menanyainya. “Bagaimana bisa kamu kembali kesini, lalu bagaimana bisa menjadi kakak kelasku.”
“Aku kesini karena pekerjaan ayah yang mengharuskanku ke Indonesia, lalu aku bisa jadi kakak kelasmu mungkin karena kau tidak naik kelas!”
Egri masih sama sifatnya seperti dulu. Ia sering bertindak sebagai pelawak dalam hidupku. Egri sebenarnya mengikuti sekolah menengah pertama di luar negeri hanya dengan dua tahun. Tiba-tiba Egri memelukku.
“Maaf karena kecelakaan yang aku alami dulu telah membuatmu menjadi Rapunzel yang selalu menyalahkan diri hingga kau membuat penjara yang tertancap besi ketakutanmu untuk berteman dengan orang lain. Terima kasih kau masih menungguku selama ini.”
“Aku bukanlah seorang Rapunzel melainkan seorang penyihir yang mengurung diriku sendiri. Maaf karenaku tak langsung mengenalimu. Terima kasih karena kau telah menghampiriku. Dan terima kasih karena kau datang membukakan penjara ini.”
Egri melepaskan pelukan dan menghapus air mataku dengan kedua ibi jarinya kemudian memelukku kembali.


Nama               : Wening Prastiwi
Kelas               : X Ak 1

No                   : 32

0 komentar:

Posting Komentar